[Fan-Fiction] Illusion – Chapter 5

rinnaaay presents…

ILLUSION [ PROLOGUE – CHAPTER 1 – CHAPTER 2 – CHAPTER 3CHAPTER 4 ]

Previous Chapter…

Ada yang aneh dengan Onew. Ia terus merasa bersalah karena tidak menepati janjinya pada Naya untuk menjenguknya setiap hari. Ia ingin terus memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja, sehingga ia membiarkan dirinya terbawa dalam ilusi Naya—menjadi pacar gadis itu.

Onew ingin menjadi seorang Jinki.

CHAPTER – 5

Lelaki itu menggunakan sebuah kupluk berwarna merah terang. Sangat kontras dengan wajahnya yang terlihat pucat karena hampir menggigil kedinginan. Meski begitu, ia tetap pura-pura tersenyum sambil menggumam menjawab panggilan di ponselnya.

“Ya, saya mengerti, Manajer Oh. Saya akan berusaha—ya, ya saya janji,” gumamnya seraya mengangguk-angguk dan berusaha tersenyum meski seseorang di seberang sana tidak dapat melihat senyumannya.

Nde, Manajer Oh. Saya mengerti.”

Kemudian sambungan terputus.

Dua detik setelahnya ia melepas paksa kupluk merahnya dan menghempaskannya ke tanah. Saat ini ia sedang berada di sebuah taman rumah sakit di Seoul untuk menjenguk teman sekolahnya yang beberapa lama ini mengalami kecelakaan. Tapi mood-nya memburuk karena telepon dari atasannya itu.

Aisssh!!! Dia pikir menemukan berita heboh itu semudah menemukan pojjangmacha di Korea, huh?! Aku bisa gila!!!”

Namanya Kim Chan Gu. Seorang jurnalis di salah satu media online Korea Selatan. Terakhir kali ia menyerahkan berita pada supervisor-nya adalah minggu lalu. Dan ia harus rela dimaki di depan semua rekan kerjanya karena berita yang ia berikan ‘tidak menjual’. Kini, ia diminta untuk mencari berita yang heboh untuk mendongkrak ketenaran media online tempatnya bekerja itu. Tapi apa? Apa yang harus ia beritakan? Ini benar-benar membuatnya gila. Jika saja sampai pekan depan ia tidak bisa menemukan berita, apakah berita pembunuhan bawahan terhadap atasannya cukup heboh, hm?

.

.

Seorang suster berjalan tergesa-gesa di koridor rumah sakit. Wajahnya menunduk memerhatikan ponselnya. Menyentuh layarnya ke kanan dan kekiri, memerhatikan hasil potret sembunyi-sembunyinya.

Di layar ponsel itu, terdapat seorang laki-laki yang berjongkok di hadapan seorang gadis di atas kursi roda. Laki-laki itu menepuk poni sang gadis yang tersenyum. Potret lainnya, masih dengan posisi yang sama. Bedanya, kali ini laki-laki itu memakaikan syal pada sang gadis.

Foto-foto lainnya, foto seorang gadis yang duduk di kursi roda dengan didorong oleh kakak laki-lakinya. Lalu foto buram seorang laki-laki yang mengecup pelipis gadis yang sedang tertidur. Kemudian… foto seorang laki-laki tampak dari belakang.

Suster sama sekali tidak memelankan langkahnya, sehingga ketika di persimpangan koridor ia menabrak seseorang. Mengakibatkan keseimbangannya hilang dan ia terjatuh di lantai koridor. Ponsel yang sejak tadi digenggamnya terpental begitu saja dan menyentuh ujung sepatu orang lain yang kebetulan lewat.

Sementara si suster sedang meminta maaf pada orang yang ia tabrak, ponsel miliknya dipungut oleh seseorang. Orang itu mengenakan kupluk merah terang, dan ada kamera yang menggantung di lehernya. Kim Chan Gu.

Orang itu hendak mengembalikan ponsel ketika ia menangkap sesuatu yang menarik di layar ponsel itu.

Jogiyo, itu… itu ponsel saya,” kata suster yang kini telah ada di hadapannya.

Kim Chan Gu melirik suster itu sekilas, “Apa Anda yang memotret ini?”

***

Two weeks later…

Sore ini, di sela kesibukannya mengisi sebuah acara musik, Onew menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah sakit. Ia benar-benar menepati janjinya untuk menjenguk Naya setiap hari. Bertingkah laku sebagai Jinki, dan tidak jarang pula mengikuti permainan Naya dalam cerita itu.

Pun dengan Najoong, setelah memulai kembali rutinitasnya, ia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah sakit.

Kali ini, kebetulan mereka—Onew dan Najoong berkunjung dalam waktu yang sama yaitu ketika gadis itu melaksanakan terapinya—yang jadwalnya sudah mulai berkurang, hanya setiap Selasa dan Jum’at di setiap pekannya.

Tangan Najoong bersedekap di depan dada. Matanya masih terfokus memerhatikan Naya yang sudah mulai belajar melangkah. Ia tersenyum, kemudian menolehkan kepalanya ke arah Onew yang berdiri di sisinya.

Laki-laki itu sedang tersenyum dengan satu tangan melambai ke arah Naya yang melihatnya.

Gomawo,” kata Najoong.

Ne?” Onew menoleh ke arah Najoong.

“Karena bantuanmu, keadaan Naya berangsur pulih.”

Onew tersenyum. Ia mengangguk lalu kembali memerhatikan Naya melalui kaca yang memisahkan tempatnya dengan ruangan terapi. “Ia akan segera sembuh,”

“Ya, ia akan segera sembuh,” kata Najoong mengamini.

Onew mengangguk-angguk setuju.

“Dan ketika waktu itu tiba, kau tidak akan direpotkan lagi oleh semua ini. Kau akan bebas dari Naya.” Najoong tersenyum.

Nde?

“Ketika Naya pulih secara fisik, mentalnya pun harus disembuhkan. Dan saat itulah kau akan bebas. Karena aku ragu halusinasinya akan berakhir jika Jinki masih tampak begitu nyata baginya.”

Onew diam. Ia menundukkan kepalanya. Tangan yang tersimpan di balik saku mantelnya, mengepal pelan. Ia menghembuskan napas, membuat uap putih yang keluar dari mulutnya menyusup ke sela-sela syal yang ia kenakan. Setelahnya, ia mendongak.

“Kau benar, Hyeong. Jika aku terus menerus menjadi Jinki seperti dalam mimpinya, ia tidak akan sadar dari halusinasinya.”

“Sekali lagi terima kasih. Terima kasih untuk bantuanmu, Onew-ssi! Tenang saja, hari dimana Naya sembuh akan segera tiba.” Najoong merangkul Onew, menepuk bahu laki-laki itu berkali-kali.

Onew mengangguk singkat. Matanya tidak lepas dari sosok Naya yang sedang mendengarkan perkataan perawat dengan seksama.

“Aku… aku harap waktu itu cepat tiba,” ujar Onew nyaris menyerupai bisikan.

Tapi mengapa aku juga berharap waktu berjalan di tempat?

***

Oppa! Najoong Oppa!”

Lelaki yang dipanggil itu menoleh, mendapati dua gadis sahabat adiknya tersenyum lebar sambil melambai.

Oppa mau kemana?” tanya Hami.

“Ada pekerjaan yang harus kuurus,”

“Pekerjaan? Kukira seorang penulis lagu adalah seorang yang bebas. Lagi pula bukankah ini sudah malam?” gumam Hyunli.

Ya! Kau kira aku hanya menulis lagu, huh?” protes Najoong.

Hyunli memutar bola matanya, “arra, arra, kau, Park Najoong adalah salah satu composer ternama yang misterius di YG Entertainment. Kau puas?”

Hami hanya tertawa. Selalu menyumbang tawa jika Najoong dan Hyunli sedang melakukan rutinitasnya.

“Jadi, Naya sendirian di dalam?” Hami melirik pintu kamar rawat Naya sebagai isyarat.

“Ada Onew di dalam. Dia—“

Mwo?!

Jeongmalyo?!

Dan selanjutnya dua gadis itu sudah tidak mengacuhkan Najoong lagi karena mereka dengan cepat masuk ke dalam ruangan. Meninggalkan Najoong yang memasang tampang sebal.

“Dasar wanita,”

***

Ketika Hyunli dan Hami masuk, dua orang dalam ruangan itu menatap mereka dengan tatapan bertanya. Oh, bagaimana tidak, dua gadis itu masuk dengan cara yang tidak wajar. Mereka masuk berebutan sehingga menimbulkan bunyi ribut yang menarik perhatian. Onew yang sedang mengupas apel sambil mendengarkan Naya berceloteh ini-itu bahkan sampai menghentikan aktivitasnya karena melihat ada dua gadis di pintu yang kini membulatkan matanya.

“Oh, hai, Hami-ya! Hyunli Eonni!” sapa Naya riang tapi yang disapa belum pulih dari keterkejutannya dan justru menatap Onew tanpa berkedip.

Onew yang sadar situasi, bangkit dari duduknya dan agak membungkuk lalu mengucap salam. Membuat Hyunli dan Hami mengerjap sadar dan buru-buru membalas salam dengan membungkuk dalam-dalam.

Naya menautkan alis. “Ya… kalian bertiga seperti tidak pernah bertemu satu sama lain saja….” katanya. Seketika membuat tiga orang itu membeku kebingungan.

“Eunggg… kami sudah lama tidak bertemu, jadi… yah, begitulah,” kata Hami.

“Yap, begitulah,” dukung Hyunli.

“Oh, Naya, bukankah kita mau ke taman untuk berlatih? Kkaja!” kata Onew, berhasil mengalihkan fokus Naya.

“Benar juga! Kkaja!

Onew menggendong Naya ke kursi roda setelah sebelumnya memakai atributnya. Sementara itu Hyunli dan Hami masih menonton dari tempatnya. Menerka apakah benar yang sedang ia lihat ini adalah Onew SHINee? Cerita-cerita yang kemarin ditulis Hami dan dibacakan Hyunli terasa benar-benar nyata. Seolah Naya tidak sedang berhalusinasi, tapi JiNaya memang benar adanya. Semua sungguh sulit dipercaya.

.

.

.

“Pelan-pelan, Naya,” kata Onew yang kini berdiri di sisi kursi roda Naya, memerhatikan gadis itu menggerakkan kakinya, berusaha bangkit dari kursi roda.

Onew dapat melihat kedua alis Naya bertautan. Ia benar-benar berusaha. Dengan dibantu dengan pegangan Onew di tangan kanannya, Naya mulai menumpukan seluruh berat badannya di kedua kakinya. Setelah benar-benar berdiri dengan tegak, ia menoleh pada Onew dan tersenyum lebar.

Onew membalas senyum itu tidak kalah lebarnya, menciptakan pemandangan mata segaris yang selalu Naya sukai.

“Sekarang, lepas aku,” pinta Naya.

Onew menggeleng.

“Oh, ayolah… aku sudah bisa. Bukankah tadi sore kau lihat sendiri di ruang terapi?”

“Tapi—“

“Jinki-ya…”

Onew menghela napas. Gadis ini benar-benar keras kepala.

Onew melepaskan pegangannya perlahan. Agak limbung, Naya memperbaiki posisinya, kemudian menggerakkan kaki kanannya. Maju satu langkah meski masih terlihat diseret. Kemudian kaki kiri, tapi ia hampir saja terjatuh jika saja Onew tidak menahannya.

“Naya!” seru Onew refleks.

Naya tersenyum lebar, “lihat, aku berhasil melakukannya, kan?” katanya lalu terkekeh.

Ya! Kau masih bisa tertawa? Astaga, kau hampir membuat jantungku berhenti berdetak!”

Naya mencibir, “jangan berlebihan, Lee Jin Ki! Aku tidak mungkin mati atau jatuh koma lagi jika hanya terjatuh ke tanah!”

Arraseo,

“Nah, sekarang berdirilah satu meter di sana dan aku akan melangkah menghampirimu.”

Sirheo. Itu terlalu berbahaya.”

“Jinki-ya…”

Sirheo.

“Jinki Oppa…”

“Aku. Tidak. Mau.”

“Sekaliii saja. Kalau aku gagal, kita kembali ke kamar. Tapi kalau aku berhasil, kau berikan aku hadiah.”

Onew berpikir sejenak. “Oke. Hanya satu kali dan—“

Call! Cepat berdiri di sana!”

Onew mundur perlahan sambil terus menatap Naya, mewaspadai gadis itu kehilangan keseimbangan.

“Lebih jauh!”

Onew menggeleng. “Ini sudah cukup jauh.”

“Oke, wait me there.”

Naya menghembuskan napas bertekad, menggerakkan kakinya perlahan dengan mata yang terus menatap Onew yang melihatnya ngeri. Kedua tangan laki-laki itu bahkan terulur ke depan, berjaga-jaga.

Satu langkah… dua langkah… tiga langkah… dan di langkah ke empat, Naya hampir kehilangan keseimbangannya. Onew bahkan sudah maju dua langkah, hampir berlari jika saja Naya tidak berteriak.

“Tetap di situ, Lee Jin Ki! Aku bisa.”

Naya kembali melangkah. Tiga langkah lagi menghampiri Onew. Dua langkah lagi… satu langkah lagi… dan… ia sampai selamat dalam dekapan Onew. Laki-laki itu memeluknya tanpa ragu begitu Naya sampai di depannya. Seolah memberitahu Naya bahwa ia benar-benar khawatir dan jantungnya terasa mau copot melihatnya seperti tadi.

“Lihat, aku bisa melakukannya, kan? Iya, kan?” seru Naya bersemangat.

“Ya, ya, ya, terserah apa katamu, Park Na Ya,” kata Onew tak acuh. Ia tidak peduli, yang penting sekarang gadis itu sudah aman dalam dekapannya.

“Aku akan segera sembuh, Jinki-ya… aku akan sembuh, yeay!”

Onew melepaskan dekapannya, menatap Naya yang berbinar bahagia.

 

“Naya akan segera sembuh, dan ketika waktu itu tiba, kau tidak akan direpotkan lagi oleh semua ini.”

 

Wae? Apa yang salah?”

 

“…kau akan bebas dari Naya.”

 

“Jinki-ya—“

 

 

 

Manis. Lembut. Rasanya seperti permen kapas yang dulu sering Najoong belikan di kedai Paman Geum di ujung jalan. Meski tidak lama dan seperti mimpi, tapi Naya tahu itu benar-benar terjadi. Wajah Onew masih tepat di depan wajahnya. Sangat dekat sampai-sampai Naya merasa mereka sedang berebutan oksigen sekarang.

“Hadiahmu… karena kau telah berhasil,” bisik Onew.

.

.

“Yang tadi itu apa, Hami-ya?” Hyunli mengucapkannya dengan kesadaran yang meragukan.

Juga dengan Hami yang entah mendengar atau tidak pertanyaan Hyunli. Keduanya seperti berada di batas antara kesadaran dan halusinasi.

“Apakah kita berdua tertular Naya, Eonni? Kita berdua berhalusinasi?” tanya Hami.

Hyunli mengangguk. “Benar. Kau benar, Shin Ha Mi. Yang tadi itu tidak mungkin nyata, kan? Jadi kita sedang berhalusinasi dalam cerita yang kau—auww! Yak! Itu sakit, Hami! Kenapa—“

“Berarti itu nyata, Eonni. Yang tadi itu…” Hami menatap Hyunli serius, meski gadis itu masih meringis menahan sakit akibat cubitan Hami. “…yang tadi itu nyata. Itu nyata!”

“Jadi… Onew SHINee benar-benar mencium Park—mmph!” kata-kata Hyunli terputus karena Hami membekap mulut kakak kelasnya itu.

“Jangan keras-keras, Eonni. Nanti ada yang dengar. Bisa gawat, apalagi kalau Najoong oppa dengar. Dia bisa—“

“Apa? Apa yang kudengar?”

Tetiba saja, Najoong yang baru disebut namanya muncul di belakang Hami, mengagetkan dua gadis itu yang kini berdiri kaku di koridor rumah sakit.

“Ti—tidak. Bukan apa-apa, Oppa. Sama sekali bukan apa-apa.”

“Lalu mengapa kau membekap mulut Hyunli seperti itu?”

“O—oh,” Hami melepaskan tangannya di mulut Hyunli yang langsung mendesah lega karena sejak tadi tidak bisa bernapas.

“Tidak apa, kami hanya sedang bermain,” kali ini Hyunli berkata.

Najoong mengangkat bahunya tidak acuh. Sudah biasa melihat kelakuan dua orang ini yang agak absurd.

“Najoong Oppa!”

Itu Naya. Duduk manis di kursi roda yang didorong Onew. wajah gadis itu terlihat berbinar bahagia. Hyunli dan Hami—yang sudah melihat semuanya tadi—memakluminya.

“Mengapa kesini lagi?” tanya Naya begitu ia sampai di depan Najoong.

“Oh, jadi begitu sekarang? Karena sudah ada Jinki jadi jika Oppa-mu ke sini, kau bertanya seperti itu, hm?”

Naya terkekeh. “Bukannya seperti itu, Oppa-ku sayang…” katanya manja.

Aigooo, aigooo, padahal Oppa hanya berbicara seperti itu tapi mengapa pipimu bersemu semerah itu, hm?”

Oppaaaaa, hentikan! Jangan seperti ituuu,”

Najoong terkekeh, sementara Hyunli dan Hami diam-diam memerhatikan wajah Onew yang juga bersemu. Huh, pasti karena kejadian tadi!

Setelahnya, mereka semua berjalan menuju kamar rawat Naya.

Eonni, kkaja!” kata Hami menggandeng tangan Hyunli yang tiba-tiba saja sedang melamun.

“Tunggu, Hami-ya,”

“Ada apa?” Hami melihat ke arah yang sejak tadi Hyunli perhatikan, tapi tidak ada apa-apa di sana.

“Sepertinya tadi aku melihat ada yang memerhatikan kita semua.”

“Huh?”

Hyunli berpikir sejenak. Rasa-rasanya ia juga mendengar suara kamera, tapi…

“Ah, tidak, tidak. Sepertinya aku salah lihat. Kkaja!” gumam Hyunli kemudian ganti menggandeng Hami untuk berjalan menyusul Naya, Onew, dan Najoong di depan sana.

***

“Halo?”

“Ha—halo. Ini aku. Aku… aku…”

“Ya, ada apa? Bisakah kau percepat sedikit? Aku sedang terburu-buru.”

“Aku… aku mendapatkan yang terbaru dan… dan lebih mengejutkan lagi.”

“Benarkah? Baiklah, simpan itu, besok aku akan menemuimu. Senang bekerja sama denganmu.”

Klik.

“Onew-ssi, maafkan aku.”

***

Dalala la laladalalala la lala…

Onew bersenandung riang dalam perjalanannya menuju dorm. Selepas turun dari taksi tadi ia mampir ke pojjangmacha untuk membeli tteokpeokki dan sundae, juga ke supermarket terdekat membeli beberapa cola mengingat persediaan di dorm sudah habis. Malam sudah larut dan jalanan tidak lagi ramai, ditambah dengan atribut super yang membuatnya tidak akan bisa dikenali, ia berjalan santai menikmati angin malam.

“Aku pulang…”

Adalah sapaan pertama yang ia ucap sambil membuka sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah.

Whoaaa, apa yang kau bawa, Hyeong?” Taemin menyambut Onew dan langsung merebut dua bungkus yang tadi Onew bawa.

Whoaaa, ada makanan!” seru Jjong ketika Taemin meletakkan bungkusan itu di atas meja dan membukanya.

“Coba bacakan lagi, Key!” kata Minho setelah menyambar sepotong tteokpeokki yang Taemin sodorkan di depan mulutnya.

Wait,” kata Key lalu membalik halaman sebuah buku di pangkuannya. “…aku masih menatapnya ketika Jinki menoleh padaku dan tersenyum dengan caranya yang sangat kusukai, “…forever more…” katanya menyanyikan lirik terakhir. Setelah itu aku memasang senyum karena terlalu bahagia. Jinki ikut tersenyum lalu semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dan sebelum aku berhasil mencerna apa yang akan terjadi, sesuatu yang lembut dan lembab telah lebih dulu mendarat dipermukaan bibirku. Tidak lama, singkat—sangat singkat sampai-sampai aku merasa itu hanya halusinasiku saja. Tapi ketika melihat wajah Jinki yang tersenyum didepan wajahku, aku tahu kalau—“

Uhuk!!!” Onew yang sedang meminum cola tersedak begitu menyadari apa yang sedang Key bacakan.

“Onew Hyeong…”

Ya! Ada apa denganmu?!” seru Jjong lalu terkekeh karena menyadari penyebab tersedaknya Onew. Tentu saja karena apa yang Key bacakan tadi.

Onew masih terbatuk-batuk. Merasakan perih di tenggorokan dan hidungnya—oh, demi apa, ia tersedak soda!

“Kalian… ya! Kembalikan buku itu, Kim Ki Bum!” seru Onew setelah ia bisa menguasai diri. Wajahnya memerah, perpaduan karena soda dan mengingat apa yang Key bacakan hampir sama seperti apa yang tadi ia alami dengan Naya.

“Ada apa dengan buku ini? Bukankah hanya berisi fan-fiction biasa dan kebetulan yang menjadi bintangnya adalah kau,” kata Key.

“Tadi Taemin menemukannya di kamarmu dan sepertinya cukup menarik karena bukan yaoi seperti biasa. Dan karakter Park Na Ya di sini—“

“Berikan padaku!” Onew merebut buku di tangan Key secara paksa tapi semuanya tidak terlalu memusingkannya karena mereka kira cerita itu hanya fanfiksi biasa padahal—oh, tunggu. Bukankah itu memang fanfiksi biasa? Iya, biasa. Biasa… bahkan menurut Onew itu adalah fanfiksi konyol. Tapi itu sebelum… sebelum ia benar-benar mengenal Naya. Kini keadaannya berbeda.

“Tidak, tidak, tidak… ini tidak benar!” Onew menggeleng-gelengkan kepalanya, dan bergumam sendiri, membuat para member menatapnya horror.

“Tapi, tunggu,” ujar Key. Tteokpeokki yang sudah hampir masuk ke mulutnya justru disambar Jjong—yang tidak dipedulikan Key karena ia terlihat sedang berpikir.

“Ada apa, Hyeong?” tanya Taemin.

“Sepertinya aku pernah mendengar nama Park Na Ya,” kata Key seolah berkata pada dirinya sendiri.

“Oh, ya? Di mana?” tanya Jjong sambil lalu.

Onew meneguk ludahnya. Jangan sampai mereka mengingat Hyunli dan Hami yang datang ke acara saat itu dan menjelaskan keadaan Naya. Jangan sampai.

“Kau mendengar nama Park Na Ya tadi, ketika kau membaca fanfiksi itu, Key,” kata Onew, berharap bisa membohongi Key dan teman-temannya.

“Aku juga… merasa pernah mendengarnya dari…” Kali ini Minho yang bersuara. Wajahnya terlihat seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu, kemudian berbinar sambil menjentikkan telunjuknya. “Ah, benar!” kata Minho sambil menatap Onew yang menatap Minho was-was.

“Di mana?”

“Di original soundtrack dramaku—To The Beautiful You. Ada yang berjudul It’s Me = Naya,” jelas Minho yang membuat Onew langsung mendesah lega.

“Yeuuu!”

Tidak, member SHINee yang lain tidak boleh tahu tentang Naya. Setidaknya jangan sekarang.

.

.

“Naya akan segera sembuh, dan ketika waktu itu tiba, kau tidak akan direpotkan lagi oleh semua ini. Kau akan bebas dari Naya.”

Ini sudah terlalu larut untuk terjaga, Onew tahu itu. Tapi ia benar-benar belum bisa memejamkan matanya. Bukan berarti ia tidak merasa lelah, tapi ada sesuatu yang berkecamuk di pikirannya. Onew tidak tahu mengapa, Onew tidak tahu apa yang salah, ia benar-benar tidak tahu. Mengapa rasanya aneh mendengar dan menyadari bahwa cepat atau lambat ia akan pergi dari Naya? Ini terlalu dini untuk disebut Cinta, tentu saja. Mungkin ini hanya perasaan enggan kehilangan sesuatu yang… uhm, yang unik—mungkin—dalam hidupnya yang semula terasa datar.

“Lihat, aku bisa melakukannya, kan? Iya, kan? Aku akan segera sembuh, Jinki-ya… aku akan sembuh, yeay!”

Bukannya Onew tidak senang Naya akan segera sembuh, tapi… jika kesembuhannya itu berarti suatu perpisahan, maaf… Onew berharap kesembuhan itu tidak cepat datang.

“Belum tidur, Hyeong?”

Onew menoleh dari pandangannya yang semula tertuju pada siaran televisi yang sejak tadi tak berhasil mencuri perhatiannya. Itu Minho.

“Belum mengantuk,” jawab Onew, “kau sendiri?”

Minho menaikkan bahunya sejenak lalu duduk di sisi Onew yang mulai mengganti-ganti channel televisi di depannya.

“Aku sedang menunggu pertandingan bola.”

Onew mengangguk-angguk, menggumam mengerti. Setelahnya, tidak ada lagi yang bersuara. Hening. Hanya suara televisi yang memecah kesunyian.

“Kalau begitu aku—“ Onew baru akan bangkit dan pamit untuk tidur ketika Minho memotong perkataannya.

“Kurasa aku tahu Park Na Ya,”

Ne?

“Park Na Ya yang ada dalam cerita itu…” Minho menggantungkan kalimatnya, “adalah Park Na Ya yang sama dengan Park Na Ya yang dua gadis asing ceritakan tempo hari lalu, kan, Hyeong?”

“I—itu…”

“Mau berbagi denganku?”

***tobecontinue***

 

Adakah yang masih menunggu dan membaca FF ini? Haha. Jujur, aku lg kangen berat sm Jinki-ku. Dan aku membaca ulang semua kisah JiNaya yg pernah kutulis. Geli. Tp manis. Dan nyesel bgt kenapa dulu nggak selesein Illusion ini. Udah ada di laptop tapi belum sampe tamat. Aku pengen banget tamatin ini. Semoga aku bisa huhu. Kalau memang ini masih ada yg baca, tunjukkan keberadaan kalian dengan komentar ya! 🙂

Leave a comment